19 June 2009

Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (KALIMANTAN TIMUR)

“DI SEMAK-semak saja,” kata Elin, ketika diajak melanjutkan ‘acara’ ke
sebuah hotel di Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan
Timur. Ia merasa tidak aman masuk ke hotel dengan pakaian sekolah.

Gadis dari pedalaman Kalimantan yang berusia 17 tahun itu bercerita, ia
biasa berkencan di balik pohon. “Saya tidak biasa di hotel. Di tempat lain
juga boleh, pokoknya jangan di hotel. Di semak-semak juga tidak apa-apa,
tidak ada yang lihat. Kan cuma sebentar,” katanya.

Umumnya kencan dilakukan di semak-semak, atau di balik pohon, di tempat
kost bila siang hari, atau di atas kapal yang banyak bertambat di daerah
ini, atau bahkan di dalam mobil.

Para ABG paling takut bila diajak kencan di hotel maupun penginapan
setempat. Kalaupun bersedia, maunya hotel atau penginapan di Kota Madia
Turakan, sekitar satu jam setengah dari Tanjung Selor, bila menggunakan
long boat.

ABG yang bisa diajak kencan di Tanjung Selor, banyak berkeliaran menjelang
masa ulangan umum. Menurut Elin, banyaknya ABG yang ‘turun ke jalan’ pada
saat-saat seperti itu karena mereka membutuhkan uang untuk keperluan
sekolah.

Elin mengakui bahwa mereka yang dari pedalaman sangat kekurangan uang.
Untuk membiayai kehidupan sehari-hari memang mencukupi, tapi bila
kebutuhan uang mulai agak besar seperti menjelang ulangan umum atau ujian,
mereka hampir tidak berdaya. Orang tuanya yang berada jauh di pedalaman
hanya petani atau peladang berpindah.

Ketika berangkat dari kampung halamannya untuk melanjutkan sekolah ke
kota, mereka memang sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh orang tuanya
agar terhindar dari ‘malapetaka’ kehamilan. Seperti Elin misalnya, untuk
‘menjaga diri’ agar tidak hamil, oleh ibunya ia diberikan jarum yang sudah
dimantera-mantera.

Setiap hari menjelang keluar rumah atau mau berkencan, ia merendam jarum
bermantera itu ke dalam segelas air, lalu airnya diminum. Sampai sekarang,
Elin aman-aman saja kendati sudah berkali-kali melakukan hubungan seks.

“Berbahaya bila tidak minum air jarum,” katanya. Ia menceritakan
pengalaman temannya yang kehilangan jarum bermantera, setelah berkencan
temannya itu hamil dan melahirkan anak tanpa ayah. Kemudian menjadi
pelajar di Tarakan.

Banyak sudah gadis remaja di kota itu karena terlalu sering melakukan seks
bebas, kemudian terjerumus menjadi pelacur. Menurut Elin, selain karena
persoalan tersebut, banyaknya ABG menjadi pelacur karena ulah sejumlah
oknum aparat.

Para ABG itu, tadinya merasa aman bila berhubungan dengan mereka, yang di
sana dikenal dengan istilah kombet. Para kombet, awalnya melindungi mereka
dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi ujung-ujungnya para
gadis itu dijual.

Seperti pengalaman Inge, juga berhenti dari SLTA saat mengetahui ada janin
bayi dalam perutnya, ‘hadiah’ dari seorang oknum aparat kepolisian dari
satuan provost. Pacaran tetap berlanjut, hingga menyeberang ke Tawan,
Malaysia.

Di Tawan, janinnya digugurkan. Sementara sang pacar bolak-balik
Tawan-Tanjung Selor karena masih berdinas di Polres Bulungan. Singkat
cerita, menurut Inge yang masih takut menyebutkan nama pacarnya tersebut,
Inge dijual kepada para hidung belang di Tawan, berkisar seharga 200
hingga 250 ringgit Malaysia atau berkisar Rp 360 ribu hingga Rp 450 ribu
untuk setiap kali kencan.

Menurut Inge, jaringan penjualan gadis ABG ke Tawan cukup rapi. Pada
pedagang gadis lengkap dengan mata-mata dan tukang pukulnya. Mereka
umumnya orang Indonesia yang memiliki kebebasan keluar masuk ke negara
tetangga itu. Harga seorang wanita, dihargai cukong 4.000 ringgit atau Rp
7,2 juta (satu ringgit Rp 1.800).

Tapi saat ini Inge sudah lepas dari cengkeraman kombet. Inge melarikan
diri dan lolos kembali ke kampung halamannya, ketika para tukang pukul
berpesta, menikmati hasil penjualan wanita.

Selain ditempatkan di hotel-hotel di Tawan, juga ada yang dijual lagi ke
cukong di Singapura, Sandakan, dan Kinabalu.

Menurut pengakuan Inge, memikirkan melarikan diri dari sarang maksiat,
muncul saat Inge sedang haid namun dipaksa melayani tamu. Karena Inge
menolak, ia lalu dipukuli dan dicaci maki, perlakuan yang sama juga
dialami wanita-wanita lainnya.

Inge belum berani mengungkapkan siapa-siapa oknum yang terlibat dalam
penjualan wanita-wanita, dia hanya menjelaskan di antara rekan-rekan
wanitanya waktu masih di Tarakan, Tanjung Selor, maupun asal Pulau Jawa,
rata-rata terbujuk dengan janji dapat kerja dengan gaji besar. Hal itu
dibuktikan si pembawa dengan membelikan pakaian mewah dan pehiasan emas.

Namun setelah berada di sana, pakaian dan perhiasan dipreteli untuk
diambil lagi. Hasil kencan dengan tamu juga diambil. Mereka dilarang kirim
surat ke keluarga.

Lain lagi cerita ABG di Samarinda, mereka rata-rata anak putus sekolah
dengan usia 14 sampai 17 tahun. Setiap hari mereka bisa ditemukan di
sepanjang tepian Mahakam, terutama di Jl Slamet Riady atau lebih dikenal
dengan sebutan Karang Asam.

Pria yang singgah di sana, ditawari oleh sejumlah wanita untuk minum
sambil makan jagung manis. Kepada tamu, mereka hampir selalu mengatakan,
“Mampir Mas, sambil minum dan bercinta.” Kata ‘bercinta’ itulah yang
menjadi daya tarik.

Pada pukul 19.00 hingga 21.30 di tempat itu biasa nongkrong anak sekolah.
Di antaranya Yeyen berusia 17 tahun. Kepada tamu, ia sering kali minta
diantar pulang.

Dalam perjalanan, Yeyen berkata, ‘’Eh… baru jam delapan malam, bagusnya
kita ke mana ya?'’ Penghuni rumah kost di Jalan Rahui Rahayu itu pulang
sekitar pukul 22.00.

Di tepian Mahakam, menurut Yeyen ada empat ABG berstatus pelajar. Mereka
adalah teman-teman sekolahnya. Semua temannya terjun ke dunia pelacuran,
bukan karena kekurangan uang, tapi didorong oleh kebiasaan menelan
ekstasi.

Selain mendapat ekstasi, mereka juga bisa mengantongi uang. Bila malam
Minggu, penghasilannya berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu.
“Saya biasanya hanya sanggup melayani dua orang,” kata Yeyen.

No comments: