19 June 2009

Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (MALANG)

SISI namanya. Berusia 19 tahun. Anak seorang pengusaha terkenal di Malang
dan pengurus salah satu cabang olahraga. Hampir setiap hari nama ayahnya
muncul di surat kabar.

Gadis cantik, yang namanya minta dituliskan persis seperti yang tertera di
KTP-nya, adalah salah satu ABG ‘papan atas’ di Malang. Bila ‘turun’ ke
jalan, ia biasa disapa dengan nama Sisi.

Apa yang kau cari Sisi? “Biar ayah tahu kalau saya sekarang memilih
profesi ini. Jual diri,” katanya.

Secara sadar Sisi menyatakan harus melacur untuk membalas perlakuan
ayahnya yang amat jarang pulang ke rumah saking sibuknya. Namun dia tidak
akan mengobral pengakuan kepada sembarang orang, alasannya biar ayahnya
tahu secara alamiah dari mulut ke mulut.

Karena itu pula, dia tidak canggung sedikit pun tatkala kepergok wartawan
yang juga amat dikenalnya karena kerap datang ke rumahnya di kawasan elite
di Malang. Setelah ibunya meninggal pada 1995 lalu, praktis di rumah sudah
tidak ada figur panutan lagi. Jawaban Sisi terbilang klasik: korban broken
home atau kekisruhan rumah tangga seperti halnya ratusan pelacur ABG
lainnya. Sisi merasa tidak ada satu pun orang di rumahnya yang bisa
dijadikan tempat berlindung. Ia malah merasa terlindung di dalam dekapan
banyak pria yang menyukainya.

Kendati sebagai gadis muda belia yang cantik, Sisi lebih suka berdandan
ala kadarnya. Akan tetapi wajah cantiknya tak bisa disembunyikan.

Sebagai pelacur ABG, Sisi semula tergolong laris, namun kemudian banyak
ditinggalkan pelanggannya karena dinilai terlalu rewel.

Seorang pria yang cukup terpandang di Malang yang pernah beberapa kali
membawa Sisi, mengatakan, “Dia selalu minta cepat pulang. Setelah
di-booking pukul 12.00 WIB, pukul 17.00 sudah minta selesai dan
cepat-cepat memanggil taksi untuk mengantarkan ke rumahnya.”

Pria berusia 45 tahun itu sengaja memilih Sisi karena gadis tersebut
datang dari keluarga terpandang, dan sudah menjadi pembicaraan kalangan
atas di Malang.

“Saya sengaja memilih Sisi karena alasan prestise. Ternyata setelah saya
rasakan, dia banyak permintaan. Soal duit sih, dia tidak banyak tanya,”
katanya. Disebutkan tarif rata-rata pelacur sekelas Sisi –sebelum
dipotong honorarium GM-nya– Rp 500.000 sekali pakai. Sisi mengaku masih
kuliah, “Silakan cek kalau tak percaya,” ujarnya sembari menunjukkan KTM
(kartu tanda mahasiswa) sebuah perguruan tinggi kesohor di Malang.
Teman-temannya di kampus sudah banyak yang mengetahui Sisi menjadi
pelacur, “Mereka tidak terlalu peduli. Tidak sedikit teman saya yang
seperti saya. Kami saling tahu kelakuan masing-masing,” katanya.

Di Malang belakangan ini, memang banyak pelacur ABG yang datang dari
kalangan ‘atas’. Sedikitnya, saat ini ada 25 ABG dari kalangan etnis Cina.
Seorang gadis bermata sipit menceritakan tentang teman-temannya yang
terjun ke dunia ‘hitam’, yang semuanya berasal dari keluarga mampu.
“Sebelum ini, ayah saya pengusaha cukup sukses. Entah kenapa tiba-tiba
bangkrut,” cerita Lani, ketika ditemui di Dieng Plaza. Ia anak seorang
pengusaha di Kediri.

Lani mengaku, sejak bisnis ayahnya bangkrut itulah kiriman uang kuliah di
PTN terkenal di Malang tersendat-sendat. Terpaksa, Lani harus melayani
pria hidung belang. Rupanya, resesi ekonomi yang mendera Indonesia dua
tahun terakhir ikut menggelontor kelompok etnis yang selama ini dikenal
paling mapan ekonominya. Bagi Lani, profesi inilah yang mampu menyambung
napas hidup kuliahnya. Lani mengaku sekali dipakai dia mendapat bagian Rp
250.000. “Yang Rp 50.000 untuk Mami,” ungkapnya seraya menunjuk perempuan
40-an tahun yang duduk agak berjauhan.

Tapi tidak gampang menemui ABG di Kota Apel itu. Mereka bergerak secara
rapi. Lokasi mangkal ABG –di Malang kerap disebut ayam abu-abu (bagi yang
terlihat berseragam SMU) atau ayam kampus (khusus bagi pelacur ABG dari
kalangan mahasiswi)– bisa ditemui di Plaza Dieng, food court Plaza
Sarinah, di samping diskotek My Place, Laguna, dan Djoko Tarub Discoteque
di kawasan wisata Batu. “Ada pula yang terang-terangan membuka praktek.
Mereka bisa ditemui setiap saat di Hotel Royal Inn,” ujar seorang GM
seraya menyebut beberapa nama hotel. Sisanya, di Hotel Garuda atau
penginapan kelas bawah lain, merupakan pelacur profesional berusia 25
hingga 30 tahun. Berbeda dengan ABG di Surabaya yang berani menjajakan
diri di tempat terbuka seperti di pinggir jalan –para ‘pemakai’
menyebutnya sebagai pelacur embongan (jalanan)– di Malang hanya bisa
dijumpai di tempat-tempat keramaian seperti pertokoan atau kawasan tempat
nongkrong anak muda. Mereka juga bisa ditemui di karaoke, diskotek, atau
kafe.

Mereka memanfaatkan radio panggil (pager) bahkan ponsel (handphone) untuk
mempermudah transaksi. Mereka rata-rata bergabung dalam induk semang/mami
atau germo (GM). Tempat yang paling terkenal adalah kawasan Tlogomas dan
Jl Tirtonadi. Ada satu yang tidak beroperasi lagi yakni yang di Jl Bandung
14.

Di kawasan wisata Batu, mereka bisa ditemui di Jaka Tarub Discoteque di
Hotel Purnama. Masyarakat setempat juga mengenali ABG muka lama atau
pendatang baru.

Masih di Batu, ada satu lagi Diskotek Fantasia yang pada Jumat, Sabtu, dan
Minggu dijejali ABG. Di sekitar dua diskotek tersebut terdapat ratusan
vila yang bisa disewa per jam. Bahkan, harga sewa bisa terbilang sangat
murah, kecuali Sabtu dan Minggu. Pada hari biasa harga sewa dalam kisaran
Rp 25.000 hingga Rp 100.000 per paro hari. Tidak usah ragu-ragu, karena
para penjaga vila senantiasa bersikap proaktif. Mereka juga tak jarang
berperan ganda sebagai broker (pialang) atau perantara atas permintaan
para ABG. “Kalau akhir pekan mahal. Sebab kita sampai menolak permintaan,”
kata seorang penjaja vila di kawasan Songgoriti Batu. Maklum, mereka
kebanjiran ‘wisatawan’ dari Surabaya dan Jakarta. Dari mana mereka
berasal? Pengakuannya bisa macam-macam. Kebanyakan mengaku dari Blitar,
Kediri, Surabaya, atau daerah lain di Jatim. Tidak sedikit pula yang
berasal dari Kalimantan, Sulawesi, dan belahan Indonesia timur lainnya.
Tapi jumlahnya tidak bisa mengalahkan yang berasal dari Malang sendiri.

No comments: