19 June 2009

Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (BATAM)

“SAYA hanya mencari uang,” kata Tati. Gadis berusia 15 tahun itu, bisa
ditemukan di salah satu karaoke di Nagoya, Pulau Batam. Ia dipajang dalam
etalase dengan nomor dada 16.

Di dalam etalase, Tati selalu tersenyum. Ia sengaja duduk dengan
menopangkan kaki kakan di atas kaki kirinya, sehingga rok mini yang
dikenakan sedikit tersingkap.

Bagaimana cara berkenalan dengan Tati? Seorang petugas di tempat itu akan
dengan gampang memanggil Tati ke luar etalase, jika menyebut angka yang
terpampang di dadanya. Bukan hanya Tati, puluhan gadis lain yang dipajang
di tempat itu, bisa keluar dengan sekali menyebut angka.

Belakangan ini, Batam sudah menjadi ‘gudang’ pelacur ABG. Jumlahnya bisa
mencapai ribuan orang. Para gadis berusia antara 14 sampai 19 tahun ittu
ditampung di ratusan rumah toko (ruko) di kawasan Nagoya dan Sei Jodoh.
Pada malam hari, mereka menjadi ‘pemikat’ di sekitar 30 tempat hiburan
yang tersebar di Batam.

Umumnya tempat hiburan seperti diskotek, karaoke, panti pijat, menyimpan
sekitar 50 sampai 100 orang wanita muda yang masih tergolong ‘anak baru
gede’ (ABG) sebagai karyawan untuk menjaring tamu-tamu yang haus hiburan.

Kecuali pub, hampir semua tempat hiburan menyimpan wanita. Meski tidak
langsung terlihat di etalase tempat hiburan, karena ada larangan dari
pemerintah dan Otorita Batam, namun hampir tidak ada tempat hiburan yang
tidak menyediakan wanita.

Di setiap tempat hiburan itu, para ABG dikordinasi oleh seorang germo,
yang biasa dipanggil dengan sebutan mami. Jika ada yang memesan, si mami
dengan gampang menuntun para ABG seperti Tati untuk duduk di samping pria.

Tati mengaku, berasal dari sebuah desa di Jawa Barat. Ia datang ke tempat
itu bertujuan mencari uang sebanyak mungkin. Untuk itu ia belajar berbagai
hal, termasuk memilih parfum yang bisa memancing gairah pria. Ia juga
sudah pandai menyanyi.

Tati juga sudah terbiasa menyapa orang dengan bahasa yang sangat santun.
Bila bicara dengan pria, dia selalu merapatkan mulutnya ke telinga lawan
bicaranya, dengan napas agak diembuskan. “Itu cara mengundang pria,”
katanya.

Dengan berbagai cara, Tati selalu berupaya agar pria yang ditemani bisa
langsung mengajaknya ke ‘lantai atas’. Sebutan untuk tempat tersedianya
kamar tidur.

“Semakin banyak pria yang saya temani, semakin besar penghasilan saya,”
katanya. Itu makanya, Tati selalu mencari akal agar pria yang didampingi
bisa segera di ajak ke ‘lantai atas’.

Sebagai wanita pencari uang, Tati tidak pernah memilih teman kencannya.
Dia bersedia menerima siapa saja, “Saya sering melayani pria tua dari
Singapura,” katanya.

Tati merasa betah di tempat itu. Sejak datang dari Jawa Barat, Tati telah
dua kali memperpanjang kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja. Satu
ikatan kontrak lamanya empat bulan. Sepanjang waktu itu, dia tidak boleh
keluar kecuali seizin mami atau diboking pria.

“Kontrol terhadap kami sangat ketat, sehingga tidak bisa sesuka hati pergi
ke suatu tempat,” katanya. Germonya, harus tetap mengetahui di mana posisi
mereka setiap saat, karena kadang-kadang ada ‘pesanan’ mendadak.

Di perusahaan itu, ada sekitar 80-an wanita seperti Tati. Untuk membawa
mereka selama 1 malam, harus membayar Rp 300.000. Mereka boleh dibawa sore
hari atau malam hari, sampai besok harinya paling lambat pukul 09.00 WIB.

Mereka hanya memperoleh sebagian kecil dari tarif yang dikenakan oleh
pengelola hiburan. Itu sebabnya, para ABG banyak yang memilih untuk
tinggal di luar agar gampang menjaring pelanggan tanpa ikatan.

“Kami hanya mendapat Rp 40.000 untuk short time, sementara untuk satu
malam, kami hanya mendapat Rp 100.000,” ujar Iis, 16 tahun. Pengaturan
tarif sebesar itu dilakukan karena untuk short time, perusahaan memberikan
Rp 40.000 untuk sewa kamar, Rp 20.000 bagi sopir taksi atau pengantar, dan
Rp 60.000 ke perusahaan.

Setelah uangnya terkumpul, mereka biasanya pulang kampung. “Tapi tidak
selalu banyak dibawa ke kampung, karena banyak potongan tinggal di sini,”
ujar Titi, 18 tahun. Pada masa kontrak empat bulan lalu, Titi mengaku
hanya membawa uang sebesar Rp 2 juta ke kampung.

Wanita berkulit kuning langsat itu mengakui dirinya memang boros.
Majikannya sering membawa pakaian-pakaian yang menarik dan dibagikan
kepada mereka, yang mengambil harganya dihitungkan pada akhir masa
kontrak. Umumnya harga pakaian itu jauh di atas harga normal.

Akibat pemerasan oleh majikan itu, banyak ABG yang melarikan diri, “Karena
tidak ada uang masuk, sementara biaya hidup di sini semakin tinggi,” ujar
Yayang, 17 tahun. Semula, wanita penghuni karaoke tempat Yayang bekerja
berjumlah 120 orang, sekarang tinggal 60 orang.

Di luar tempat hiburan, terdapat ABG yang memang berasal dari Batam atau
daerah sekitarnya dan masih sekolah di SLTA. Tapi jumlahnya hanya sedikit.
Mereka bisa ditemukan di pusat keramaian Nagoya, Pelita, dan Jodoh, Batam
Timur.

ABG-ABG itu juga biasa mangkal di sejumlah diskotek, Lucky Plaza dan
hotel-hotel. Cirinya, mereka menggunakan pakaian dengan dada terbuka,
sepatu hak tinggi, serta menyandang tas kecil di punggung. Mereka keluar
dari rumah sekitar pukul 21.00 WIB hingga tengah malam.

Konsumen wanita ABG ini cukup beragam. Mulai dari pemuda yang bekerja di
sejumlah industri atau sektor informal, hingga pria tua bangka dari
Singapura atau Malaysia.

Bahkan sejumlah pria berumur dari Singapura menjadikan para ABG itu
sebagai istri simpanan.

Mereka diberi biaya hidup yang memadai, yakni mulai dari Sin$500 per bulan
hingga Sin$1.500 per bulan. Atau jika dirupiahkan, para istri simpanan itu
akan menerima tunjangan biaya hidup sebesar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta per
bulan.

Mereka akan berada kembali di ‘remang’ malam begitu ’suaminya’ pulang ke
Singapura. Para istri simpanan itu, tidak terlalu susah digaet. Mereka
bisa diajak ke diskotek hanya dengan modal ekstasi.

1 comment:

Esplendida Riko Tamaka said...

soal moral, tdk perlu ditanya.
sudah beginilah keterpurukan indonesia.
khususnya Batam, tempat saya tinggal.
semakin banyak pemuda/pemudi yg gampang tenggelam dalam dunia sex.

Pendidikan baik sekolah maupun agama, hanyalah sebuah kilasan, yg tidak menjamin karakter dan mental.

Pergaulan, sangat berpengaruh pada perubahan mental mereka (ABG). Disinilah peran keluarga (orangtua) sangat penting, mereka HARUS dapat memperhatikan perilaku sang anak maupun dari kehidupan dan pergaulannya.

Pernikahan dini, tak lepas dari faktor penyebabnya hal ini.
kedewasaan mereka dalam menghadapi anak, mutlak harus di lakoni.

Tidak hanya tegur dan sapa,(orang tua jaman sekarang banyak seperti ini). namun, mereka harus dapat mengerti bagaimana bergumul dengan anak.

Sekiranya, Untuk SELURUH UMAT MANUSIA yang belum maupun sudah berkeluarga. PERHATIKAN TINGKAH LAKU ANAK, AWASI MEREKA DAN YANG TERPENTING HIASI PERGUMULAN DENGAN KASIH DALAM KELUARGA.

itu saja pendapat saya, terima kasih.

GOD BLESS U ALL..