19 June 2009

Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (SURABAYA)

Anak ‘Bau Kencur’ di Segi Tiga Emas Surabaya

GINCUNYA tidak terlalu tebal. Ia sepertinya baru belajar memakai pemerah
bibir. Ia berusaha tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang
ditempel di pipinya, ketika lampu mobil menyorot ke arahnya. Gadis ‘bau
kencur’ itu mundur beberapa langkah begitu mobil berhenti di dekatnya. Dan
posisinya diganti seorang pria.

Siapa pria itu. Jangan terlalu cemas, itu adalah ‘negosiator’. Di kawasan
yang terkenal dengan sebutan ’segi tiga emas’ Surabaya, yaitu Jl Pemuda,
Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh setiap malam pemandangan seperti
itu merupakan hal biasa. Di kawasan itu, setiap hari mulai pukul 18.00
para ABG (anak baru gede) mulai pasang aksi.

Untuk bisa ‘menggaet’ ABG di Surabaya memang gampang-gampang susah. Untuk
yang memakai mobil pribadi, tidak sulit. Dengan, sekali tekan klakson,
mereka akan mendekat dan menawarkan diri. Masalah tarif bisa dibicarakan
sambil berjalan, kalau tidak cocok, bisa dikembalikan ke tempat di mana
mereka mangkal. Atau melakukan tawar-menawar melalui ‘negosiator’ alias
germo.

Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki mobil pribadi, dengan taksi saja
sudah bisa asalkan jangan berdua. Harus sendiri. Apalagi, memakai sepeda
motor, mereka akan menolak secara tegas. Itu yang dialami Media ketika
mendekati mereka sambil mengendarai sepeda motor.

Seorang penjual minuman yang mangkal di Jl Pemuda, langsung
memperingatkan. “Kalau mau booking ABG, jangan sekali-kali ada dua pria
dalam taksi itu, atau sepeda motor, mereka tidak mau, malah lari,”
katanya.

Pernah ada ABG yang dibawa oleh dua orang, ternyata di tengah jalan
seluruh perhiasannya dipreteli, termasuk uangnya. Sejak, kejadian itu
mereka sangat hati-hati.

Media kemudian, seorang diri mencarter taksi sambil menelusuri kawasan
’segi tiga emas’ itu. Saat di Jl Tais Nasution, taksi melaju pela-pelan.
Para ABG yang berjejer mulai tampak senyum-senyum, sambil memainkan
tulunjuknya yang ditempel di pipi.

Begitu melihat di dalam taksi hanya satu orang dan mobil berhenti, mereka
kemudian melangkah mundur. Dan tampil seorang pria yang berpakaian sangat
rapi.

Pria itu membungkuk ke jendela mobil, “Malam Bos, cari cewek. Tinggal
pilih,” kata germo itu sambil menyebutkan nama-nama ABG yang ada dalam
‘genggamannya’.

Ia menunjuk, “Yang pakai kaus putih, umurnya baru 16 tahun, sedangkan yang
kaus hitam umurnya 19 tahun. Tinggal pilih, mana yang suka,” ujar pemuda
yang mengaku bernama Teddy.

“Berapa tarifnya,”tanya Media. “Di kawasan sini sudah biasa, antara Rp 150
ribu sampai Rp 200 ribu. Untuk short time, selama tiga jam. Selebihnya,
silahkan bos yang transaksi dengan ceweknya. Yang, jelas kita pasang tarif
itu,” katanya.

Apa boleh ditawar. Tentu saja, bisa, tarif yang dipatok tidak mutlak, tapi
bisa ditawar. Asalkan, jangan sampai Rp 100 ribu, pasti tidak akan
digubris.

Transaksi biasanya tidak bisa langsung OK, tapi harus melalui proses. Pada
saat itu, GM (panggilan khusus untuk negosiator) memanggil cewek yang
dimaksud agar masuk lebih dulu ke dalam mobil. Tujuannya, tidak lain agar
konsumen tahu wajah dan panampilannya. “Biasanya di jalan, waktunya sangat
sempit, maka ceweknya diperintahkan masuk dulu. Biar, Bos tahu saja,”kata
Teddy.

Jika tidak berkenan, mereka juga tidak kecewa.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Jl Embong Sawo, tidak jauh dari Jl
Pemuda, hanya sekitar 50 meter. Di tempat ini, tampak dua ABG duduk di
atas sepeda motor, sambil menghisap rokok. Keduanya, tidak langsung
mendatangi mobil. Tapi, germo yang menghampiri begitu jendela mobil
terbuka. Kalimat pertama yang keluar adalah, “Malam. Cari cewek,” katanya.
“Maaf, tinggal dua ABG, lainya sudah di-booking orang. Tapi, saya jamin
tidak rewel. Siap, main dalam bentuk apa pun juga,” ujarnya setengah
memaksa.

Di kawasan Jl Embong Sawu ini tarifnya memang agak sedikit mahal
dibandingkan dengan ABG di Jl Tais Nasution. Yang membedakan karena di
kawasan itu ABG-nya benar-benar masih ‘bau kencur’. Untuk tiga jam, mereka
pasang tarif Rp 200 ribu. Memang, bisa ditawar tapi tetap saja tidak boleh
di bawah Rp 150 ribu.

“Jangan disamakan dengan yang lain. Cewek di sini memiliki ketangguhan
dalam hal servis,” ujar sang germo. Tanpa menyebut, jenis ketangguhan yang
dimaksud.

Di Jl Simpang Dukuh memang lebih ramai dibandingkan tempat mangkal lainnya
karena terdapat diskotek. Selain itu, tidak ada penerangan jalan yang
menyebabkan anak-anak baru gede itu tidak malu-malu menawarkan diri kepada
‘konsumen’ yang kebetulan lewat di tempat tersebut. Di kawasan ini, mereka
agak jual mahal. Tidak sembarangan mau diajak.

“Cewek di sini memang jual mahal, Mas. Kalau, orangnya itu tidak bermata
sipit, jarang yang mau. Tapi, kalau punya mata sipit dan bermobil,
langsung tancap,” kata seorang pedagang yang biasa menjadi tempat mangkal
ABG.

Seperti kawasan lainya, peran germo sangat dominan. Ini tidak lain, karena
sikap malu-malu yang ditunjukkan para ABG tersebut. Ketika, Media melewati
kawasan itu, sejumlah ABG hanya bergerombol, sepertinya mereka tidak
terlalu peduli terhadap ‘tamu’ yang datang.

“Silakan pilih sendiri. Ini namanya Hana dan ini namanya Yeni. Dua-duanya
ABG tulen,” kata germo bernama Sandy. Untuk meyakinkan konsumen, mereka
tidak malu-malu menyebut bahwa keduanya bisa diajak ‘karaoke’ istilah oral
seks di kalangan ABG.

Tarifnya tidak jauh beda dengan ABG yang mangkal di kawasan lainya, yakni
Rp 150 ribu. Bahkan, kalau pandai menawar bisa turun hanya Rp Rp 125 ribu
untuk tiga jam pemakaian. Kalau mau nambah bisa dikalikan sendiri.

Tapi di kawasan ini harus ekstrahati-hati, germo sering main paksa.
Kendati hanya sekadar minta uang rokok, tapi biasanya memanfaatkan ABG
dengan menyebutkan bahwa ‘anak asuhnya’ itu punya utang.

Seperti yang dialami Media, seorang germo mengatakan kepada salah satu
ABG, “Han, kamu kan punya utang sama saya Rp 15 ribu, bagaimana kalau Bos
ini yang bayar, tidak apa-apa kan,” kata Sandy. Ketika disodorkan uang Rp
20 ribu, germo itu mengatakan, “Terima kasih Bos, silakan nikmati malam
minggunya.”.

Germo di Jl Tais Nasution, paling sedikit memiliki lima ‘anak asuh’, dan
paling banyak 20 orang. Mereka selalu membawa foto ‘anak asuh’ dalam
berbagai pose.

Mereka sebagian besar dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika ditanya,
mereka tidak sungkan-sungkan menyebut nama SLTA tempat mereka sekolah atau
menyebutkan nama perguruan tingginya bagi yang mahasiswi.

‘Kalau Saya Suka, Gratis pun Jadi’

“KALAU saya suka, gratis pun jadi,” kata Hana. Gadis manis yang tahun lalu
lulus sebuah SLTP di Probolinggo itu akan sangat senang bila bertemu
dengan pria ganteng.

Ukuran ganteng bagi Hana tidak ada standar khusus, misalnya tinggi besar,
atletis, berkumis atau lain sebagainya, “Pokoknya ganteng dan saya suka.
Oke,” ujarnya sambil tersenyum.

“Tapi biarpun uangnya satu karung, kalau saya tidak suka, ya saya enggak
mau,” katanya.

Sudah berkali-kali ia tidak mau menerima bayaran dari pria ganteng yang
disukai. Yang paling melekat di hatinya, adalah seorang pria ganteng dari
Indonesia timur.

Ia terjun ke dunia ‘hitam’ bukan hanya karena persoalan ekonomi. Tapi
lebih pada kebebasan dan kepuasan bergaul dengan banyak orang dari
berbagai kalangan. Dia percaya betul bahwa bergaul dengan banyak orang,
akan memperoleh segala-galanya. “Kesenangan itu adalah segala-galanya,”
katanya.

Dan yang paling penting, “Saya bisa senang-senang,” katanya. Hana mengaku
kenal dengan banyak wartawan. Bahkan yang menjadi germonya di Jl Tais
Nasution itu adalah seorang wartawan. Ia tidak bersedia menyebutkan nama
media tempat germonya bekerja.

Hana tidak bersedia diajak pergi terlalu jauh dari pangkalannya, “Saya
lebih senang diajak ke Pinang Inn,” ujarnya. Ia menyebut nama sebuah hotel
tempat biasa mengajak teman kencannya chek in. Ia tidak mau terlalu jauh,
karena sudah harus di rumahnya kembali paling telat pulul 23.00.

Di Surabaya cukup banyak hotel yang sudah dikenal oleh ABG, antara lain
Hotel Pinang Inn (Jl Dinoyo), Hotel Puspa Asri (Jl Kenjeran), Hotel Malibu
(Jl Ngagel), Hotel Pondok Hijau (di kawasan Bukit Darmo Golf Surabaya).

Para sopir taksi juga sudah hafal betul nama-nama hotel tersebut. Sekali
sebut saja, pasti tidak akan salah alamat. Biasanya, tarif hotel untuk
enam jam pertama yakni Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu, dengan fasilitas
sebuah televisi, kulkas, dan air hangat.

ABG jalanan ternyata bersaing dengan ABG yang sudah tersedia di
hotel-hotel. Seperti di Pinang Inn, misalnya, begitu mobil masuk ke
lapangan parkir, seorang petugas langsung berkata, “Lain kali kalau ke
sini, tidak perlu bawa pasangan, di sini banyak.” Ia menawarkan beberapa
SPG (sales promotion girl) yang biasa bekerja di pertokoan elite.

Ia juga bercerita soal tanda-tanda kamar hotel sedang kosong atau penuh.
Jika, tampak tertutup, berarti kamar sedang terpakai, jika terbuka berarti
kosong.

Lalu siapa saja yang pernah masuk kamar hotel bersama Hana? Ia menyebut
sejumlah nama. Tapi yang paling berkesan adalah ketika berkencan dengan
anak pejabat Pertamina dari Jakarta. ‘’Enak. Dia royal dan ganteng,” kata
Hana.

Hana mengaku terjun ke dunia ‘hitam’, karena dikhianati pacar. Sejak SLTP
dia memang sudah mengenal hubungan seks, yang dilakukan pertama kali
bersama pacarnya. Tapi sang pacar berkhianat, “Sejak itu saya menjadi
petualang cinta. Dari pelukan lelaki satu ke lelaki lain. Saya tidak tahu,
sampai kapan saya bisa selesai,” ujarnya.

Menurut Hana, teman-temannya sesama ABG tidak pernah takut dengan ganasnya
virus AIDS. Mereka tidak teralu suka jika teman kencannya menggunakan
kondom.

Hal itu dibenarkan oleh Rika, ABG yang mengaku masih sekolah di kawasan,
Jl Arjuno, Surabaya. Rika selalu menelan antibiotik jika, akan berkencan
seorang pria, siapa pun dia. Selain itu, dirinya juga selalu rajin suntik
untuk menghindari kehamilan.

“Saya juga punya dokter pribadi, yang setiap saat memeriksa kesehatan
saya. Jadi, jangan khawatir kalau saya terkena penyakit,'’ kata Rika yang
mengaku terjun menjadi pelacur karena diperkosa kakak iparnya.

Rika selalu membatasi jumlah teman kencannya. Setiap, malam dia mengaku
hanya melayani satu orang, “Kalau lebih dari satu orang, capeknya setengah
mati,” kata Rika.

Tentu saja, karena setiap kali kencan dia ‘habis-habisan’, “Tenaga saya
hampir tidak tersisa. Ya, dia puas, saya puas. Selain itu dapat uang.
Untungnya dua kali, puas dan dapat uang,” ujar Rika.

Rika mengaku, di antara para ABG di Surabaya, kalau bicara soal gaya seks,
dialah jagonya. Hampir semua gaya dia kuasai. Itu didapat dari film biru
dan bacaan-bacaan tentang seks.

“Jualan itu yang penting bukan isinya, tapi kemasan dan modelnya. Saya
siap dengan model apa pun. Bahkan sering kali saya mengajarkan tamu
tentang gaya-gaya yang belum dikenal. Biasanya dia puas dan akan mencari
saya lagi,” ujarnya.

Kendati sudah habis-habisan, banyak juga pria hidung belang yang
permintaannya aneh-aneh. “Ya ini ya itu, pokoknya kita ini harus siap,
diapakan saja. Asalkan, satu, jangan sampai lewat ini,” kata Rika sambil
menunjuk pantatnya.

Rika sudah memahami betul bahwa menjadi ABG jalanan harus siap menghadapi
risiko apa pun. Termasuk, jika tamu yang dihadapai adalah hiperseks. Rika
mengaku pernah dibawa seorang pengusaha properti dari Jakarta. Awalnya,
memang biasa-biasa saja. Bahkan sangat romantis.

Tapi, setelah di kamar teryata orang itu hiperseks. Ia diminta melayani
sampai pagi, padahal saat itu waktu yang diberikan hanya tiga jam.
Awalnya, dia tidak mau, tapi setelah dijanjikan bayaran yang
berlipat-lipat, Rika langsung setuju.

“Begitu selesai badan saya rasanya seperti patah-patah. Pokoknya, saya
kapok melayani pria hiperseks,'’ kata Rika. Dari pengusaha properti itu
dia mendapat bayaran Rp 1 juta.

Rika mengaku, dia diperlakukan seperti bukan manusia. Pria tersebut
seperti tidak pernah merasa letih. “Saya kewalahan betul melayaninya.
Awalnya sih enak, karena dia pandai sekali. Tapi lama-lama saya jadi tidak
sanggup melayaninya.”

Oleh Rika, cerita soal pria hiperseks kemudian menyebar ke hampir setiap
ABG di Surabaya. Jadi mereka sangat takut berhubungan dengan pria semacam
itu.

Hal lain lagi yang ditakuti mereka adalah operasi petugas kepolisian.
Untuk mengelabui petugas, meraka selalu berpakaian sangat sopan. Tidak
pernah menggunakan rok mini atau baju yang menonjolkan bagian dada.

Selain itu, untuk menghindari kejaran polisi, para germo dan ABG sudah
membuat jaringan yang cukup rapi. Antara lain dengan cara menjalin
hubungan khusus dengan petugas. Biasanya begitu akan ada razia, si petugas
itu akan memberi tahu mereka.

No comments: